BREAKING NEWS

Info terbaru: 01/01/2016 Website MIPA Unsam telah aktif. Silahkan kunjungi www.mipaunsam.web.id

MENGENAL KEPITING BAKAU

Oleh: Adi Bejo Suwardi, S.Si, M.Si


Kepiting bakau merupakan salah satu jenis hewan berkaki sepuluh yang hidup alami (habitat) nya di wilayah pantai berair payau, terutama di wilayah hutan bakau yang berlumpur tebal, saluran dan tambak-tambak, sampai menjangkau laut dekat pantai. Kepiting Bakau dengan nama ilmiah Scylla serrata termasuk ke dalam dalam kelas Crustacea, subkelas Malacostraca, ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla. Saat ini dikenal ada 4 (empat) jenis kepiting dari genus Scylla, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla paramamosain, dan Scylla olivacea (Keenan,1999). Kepiting bakau umum ditemukan pada hampir di seluruh perairan pantai Indonesia, terutama di daerah mangrove, di daerah tambak air payau atau muara sungai.

1. Morfologi Kepiting Bakau (Scylla serrata)



 
 
 
Gambar 1. Morfologi Kepiting Bakau

Bentuk badan kepiting bakau relatif pendek dengan abdomen yang tereduksi. Badan yang pendek diakibatkan oleh fusi antara kepala dan toraks membentuk cefalotoraks dan ditutupi oleh karapas. Karapas berbentuk menyerupai segi enam, agak bulat atau oval, ukuran chela kanan lebih panjang daripada chela kiri, pasangan kaki terakhir berbentuk pipih dan diadaptasikan untuk berenang. Sisi anteroteral karapas berduri sembilan buah dengan ukuran yang hampir sama. Jarak antar ruang rongga mata (orbital) luas, bagian depan mempunyai enam buah duri, serta memiliki ruas propodus cheliped yang menggembung. Pasangan kaki pejalan yang terakhir (pleopod V) berbentuk memipih pada ruas terakhirnya (propodus dan daktilus). 
     Capit (pleopod I) mempunyai bagian propodus menggembung dengan permukaan yang licin. Kepiting bakau memiliki 6 buah duri diantara sepasang mata, dan 9 duri disamping kiri dan kanan mata (Karim, 1998). Kepiting bakau mempunyai sepasang capit, pada kepiting jantan dewasa Cheliped (kaki yang bercapit) dapat mencapai ukuran 2 kali panjang karapas. Selain itu, kepiting bakau diketahui memiliki 3 pasang kaki jalan dan mempunyai sepasang kaki renang dengan bentuk pipih. Warna kepiting bakau bervariasi dari ungu sampai hijau dan coklat kehitaman (Siahainenia, 2008). Pola poligonal terlihat jelas pada hampir semua bagian tubuh. Duri pada bagian dahi karapas lebar, tinggi dan agak tumpul, berbentuk segitiga. Empat duri yang di tengah berukuran panjang hampir sama sehingga terlihat rata.



 



 Gambar 2. Struktur Kepiting Bakau

Kepiting bakau jantan berbeda dengan kepiting betina. Kepiting jantan ruas abdomennya sempit, sedangkan pada betina lebih besar. Perut kepiting betina berbentuk lonceng (stupa) sedangkan jantan berbentuk tugu. Perbedaan fungsi pleopod yang terletak dibawah abdomen. Pleopod pada kepiting jantan berfungsi sebagai alat kopulasi, sedangkan pada betina sebagai tempat melekatnya telur (Moosa et al, 1985). Kepiting jantan mempunyai abdomen yang berbentuk agak lancip menyerupai segi tiga sama kaki, sedangkan pada kepiting betina dewasa agak membundar dan melebar.



Gambar 3. Kerang bakau jantan (a) dan betina (b)




2. Daur hidup Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Kepiting betina matang pada ukuran lebar karapas antara 80-120 mm sedangkan kepiting jantan matang secara fisiologis ketika lebar karapas berukuran 90-110 mm. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki hutan bakau dan tambak. Proses perkawinan dimulai dengan induk jantan mendatangi induk betina, kemudian induk betina akan dipeluk oleh induk jantan dengan menggunakan kedua capitnya yang besar. Induk kepiting jantan kemudian menaiki karapaks induk kepiting betina, posisi kepiting betina dibalikkan oleh yang jantan sehingga posisinya berhadapan, maka proses kopulasi akan segera berlangsung. Setelah perkawinan berlangsung kepiting betina secara perlahan-perlahan akan beruaya di perairan bakau, tambak, ke tepi pantai, dan selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan (Kasry, 1996). Sedangkan kepiting bakau jantan setelah melakukan perkawinan akan tetap berada diperairan hutan mangrove, tambak atau sela-sela perakaran mangrove.


Gambar 4. Siklus hidup kepiting bakau

Induk kepiting betina berimigrasi ke pantai sambil membawa telur-telur terbuahi yang dilekatkan di pleopod. Telur tersebut akan menetas dalam beberapa minggu. Setelah telur menetas di perairan laut, telur akan masuk pada stadia larva tingkat I (zoea I) yang akan terus berganti kulit (moulting). Larva kemudian terbawa arus ke perairan pantai hingga mencapai stadia zoea V (pascalarva), kurang lebih 18 hari. Selanjutnya stadia zoea V akan mengalami pergantian kulit menjadi megalopa (11-12 hari). Pada stadia megalopa, bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa tetapi masih memiliki bagian ekor. Setelah tadia zoea V, kemudian memasuki stadia juvenil yang disebut juga stadia kepiting muda yang terlah berbentuk kepiting dengan organ tubuhnya yang lengkap.
Waktu yang diperlukan dari tingkat megalopa menjadi kepiting muda sekitar 15 hari. Kepiting bakau muda akan bermigrasi kembali ke hulu estuari dan berangsur-angsur memasuki hutan mangrove hingga berkembang menjadi kepiting bakau dewasa. Kepiting dewasa melakukan pergantian kulit (moulting) sebanyak 17-20 kali tergantung pada kondisi lingkungan dan ketersedian makanan. Kepiting bakau mampu bertahan hidup selama 2-3 tahun dan mencapai ukuran lebar karapas maksimum lebih dari 200 mm (Bonine et al. 2008).

3. Habitat Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Kepiting bakau banyak ditemukan di daerah hutan bakau sehingga di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan kepiting bakau (Mangove crab). Jenis hewan ini biasanya lebih menyukai tempat yang berlumpur di daerah hutan mangrove. Kepiting terdistribusi hanya terbatas pada daerah litoral dengan kisaran kedalaman 0 – 32 meter. Pada siang hari, kepiting tingkat juvenile jarang terlihat di daerah bakau kerena lebih suka membenamkan diri di lumpur.


 Gambar 5. Habitat kepiting bakau

Kepiting bakau bersifat euryhaline atau dapat hidup di perairan dengan kisaran salinitas yang lebar, yaitu 5 – 40 ppt. Selama pertumbuhannya, kepiting bakau menyukai air dengan salintas antara 5 – 25 ppt. Oleh karena itu, kepiting – kepiting muda banyak ditemukan di pesisir pantai atau di muara sungai yang memiliki salinitas relatif rendah. Kepiting muda juga ditemukan di sungai yang jauh dari laut dengan salinitas sekitar 5 ppt. Kepiting tidak menyukai air yang keruh dan memerlukan air bersih yang bebas pollutan.

4. Pakan dan Kebiasaan Makan
Kepiting bakau dewasa termasuk jenis hewan pemakan segala dan bangkai (omnivorous scavenger). Pada saat larva, kepiting bakau memakan plankton, dan pada saat juvenil menyukai detritus. Kepiting dewasa menyukai ikan, udang, dan moluska terutama kerang-kerangan. Kepiting bakau juga menyukai potongan daun terutama daun mangrove. Jenis kepiting ini mengkonsumsi bahan pakan dari tanaman yang banyak mengandung serat. Menurut Anderson et al. (2004) digestibility (kecernaan) kepiting pada serat dan semua bahan baku pakan sumber nabati sangat tinggi, yaitu berkisar antara 94,4 – 96,1%.
Hasil penelitian menunjukkan adanya enzim selulase pada saluran pencernaan kepiting bakau yang diduga merupakan kontribusi dari mikroflora saluran pencernaan. Keberadaan enzim selulase memungkinkan kepiting bakau mampu mencerna serat makanan. Kepiting bakau termasuk hewan nokturnal yang aktif di malam hari untuk mencari makanan. Sementara itu, kepiting bakau pada siang hari akan bersembunyi di lubang-lubang, di bawah batu, atau di sela akar bakau.


DAFTAR PUSTAKA

Anderson A, P. Mather and Richardson. 2004. Nutrition of the mud crab Scylla serrata (forskal). In Allan and D. Fielder (ed.). Proceeding of Mud Crab Aquaculture in Australia and Southeast Asia. pp 57-59
Bonine KM, EP Bjorkstedt, KC Ewel, and M Palik. 2008. Population characteristik of the mangrove crab Scylla serrata (Decapoda: Portunidae) in Kosrae, Federation States of Micronesia: effect of harvest and implications for management. Jurnal Pacific Science 62: 1-19
Karim MY. 1998. Aplikasi Pakan Alami (Brachionus plicatilis dan Nauplis Artemia salina) yang Diperkaya Dengan Asam Lemak Omega-3 dalam Pemeliharaan larva Kepiting Bakau (Scylla serrata Forsskal). [Disertasi]. Bogor. Institut Pertanian Bogor.
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Jakarta: Penerbit Bharata.
Keenan, CP. 1999. The Fourth Spesies of Scylla. In Mud Crab Aquaculture and Biology. ACIAR Proceedings N0.78. Canberra
Moosa MK, I Aswandy, A Kasry. 1985. Kepiting Bakau Scylla serrata (Forskal,1775) dari Perairan Indonesia. Jakarta: Sumberdaya Hayati Perairan LONLIPI
Siahainenia, L. 2008. Bioekologi kepiting bakau (Scylla spp) di ekosistem mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor